Kamis, 20 Oktober 2011

LELAKI SEJATI, IMAM KELUARGA

Laki-laki memang ditakdirkan Allah Subhanahu Wata’ala menjadi pemimpin keluarga, pemimpin bagi kaum wanita. Betapapun hebatnya seorang wanita, tetap saja kaum laki-laki yang menjadi pemimpin keluarga. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam QS. An-Nisa : 34 :

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Namun, yang sering menjadi pertanyaan adalah, mengapa selalu laki-laki yang menjadi pemimpin sebuah keluarga? Tak adakah kemungkinan bagi wanita untuk memimpinnya? Mengapa harus laki-laki?

Kepemimpinan dan kekuasaan ini telah ditegaskan dan ditekankan dalam firman-Nya,” Sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” Ini karena lelaki memiliki kemampuan lebih dibanding wanita dalam hal perlindungan, bimbingan dan usaha. Dan dalam Islam yang berkewajiban untuk mencari nafkah adalah suami bukan istri. Hal ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya : “ Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya.” (QS. Al Baqarah : 228)

Kelebihan lelaki atas wanita ini bukan menunjukkan kelemahan wanita, melainkan bahwa wanita dan laki-laki itu harus saling melengkapi. Wanita adalah sebagai penenang sedangkan laki-laki adalah sebagai sandaran, dimana keduanya saling membutuhkan. Wanita dengan fisik dan mentalnya memang cocok untuk dipimpin, sebaliknya laki-laki. Dan ini sudah menjadi ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala, yang pasti memiliki hikmah yang sangat besar, karena Allah tidak akan menciptakan dan menetapkan sesuatu secara sia-sia.
Rasulullah bersabda,”Sekiranya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada manusia, maka aku akan memerintahkan seorang wanita untuk sujud pada suaminya.” (HR. Turmudzi). Hadits ini telah menunjukkan begitu besarnya kepemimpinan seorang suami terhadap istrinya.
Tapi meski laki-laki sudah ditakdirkan menjadi pemimpin keluarga, bukan berarti laki-laki bersikap otoriter dan sewenang-wenang terhadap istri dan anaknya.

Bersambung... 

Selasa, 18 Oktober 2011

RUANG HATI

Gambar dari http://arzfndy.blogspot.com/

Hampir lima tahun aku menempati ruang hatimu. Waktu yang cukup panjang menurutku. Berat rasanya. Begitu banyak kenangan yang tertoreh bersamamu. Di saat aku tersenyum bahagia, tertawa lepas tanpa beban. Pun di saat aku menangis terisak dalam kesendirian. Suka duka silih berganti menerpaku. Tetapi kau tetap setia menemaniku, melindungiku dari panasnya matahari, hujannya gerimis dan juga dinginnya malam.

Selama itu pula aku telah merawatmu, memberi kesejukan, mencintaimu dengan penuh kasih sayang. Semoga dengan rentang waktu hampir lima tahun itu, cukup memberimu sebuah kenyamanan. Walau kadang aku membiarkanmu begitu saja di saat aku tak lagi kuat. Di saat capek menderaku tiba-tiba. Di saat ngantuk ini tak tertahan lagi. Maafkan aku, cinta!

Cinta. Kutatap engkau tuk terakhir kalinya. Hanya sebutan itulah yang pantas untukmu. Selamat tinggal cinta. Semoga sepeninggalku nanti, ada seseorang yang lebih baik dariku yang akan menempati ruang hatimu. Seseorang yang lebih amanah, lebih bisa merawat dan mencintaimu sepenuh hati. Ah, cinta. Aku terlanjur cinta padamu. Cinta pada pandangan pertama kala menatapmu. Pada sebuah ruang tiga kali tiga meter. Itulah ruang kamar kosku.

Berawal dari Abah, pemilik kos memintaku tuk pindah ke ruang hati yang lain karena ruang hatimu perlu suasana baru. Sejak itu juga, ku enggan melangkahkan kaki. Aku masih ingin bersamamu merenda hari.

Hari itu, 28 Mei 2011 tepat pukul 05.30 aku bergegas meninggalkanmu, cinta. Tak ada waktu lagi. Harus hari itu.

Kamu tahu cinta? Kali ini ku tak menemukan chemistry itu, yang dulu pernah kutemui di ruang hatimu. Asing kurasa. Enggan kumenyapanya. Tapi tak ada pilihan lain kecuali memberikan kesempatan padanya tuk bersamaku. Seperti juga ia, yang rela memberikan kesempatan untukku tuk menempati ruang hatinya tanpa banyak kata. Aku berusaha tuk menerima apa adanya. Semoga aku bisa memberikan cinta itu untuknya. Dan semoga ini adalah ruang hatiku yang terakhir.

            Seperti itu jugakah perjalanan cintaku?

Ya Allah, aku ingin ada yang menemani dalam setiap langkahku. Aku ingin ada yang menegurku, mengingatkanku, menguatkanku, mendoakanku. Aku ingin ada yang membawaku ke jalanMu. Jalan yang lurus. Jalan menuju surgaMu. Ya Allah pertemukan aku dengan hambaMu yang juga mencintaiku karenaMu. Berikanlah kesabaran dan ketabahan dalam diriku tuk menunggu saat terindah itu dariMu. Aamiiin Ya Robb…

“ Episode pindahan kamar kos karena terlanjur cinta dengan kamar kosku yang lama he he he “

Jumat, 14 Oktober 2011

DI ATAS PUSARA ITU

Gadis berkerudung merah jambu itu merenung sambil sesekali tangannya mencabuti rumput yang tumbuh liar di atas pusara Abahnya. Lama dia tak menjenguknya. Air matanya pun mengalir deras.

***

“Abah, Sasa berangkat dulu, ya!” teriaknya sambil setengah berlari ia berpamitan pada Abahnya.

Kontan saja Abahnya terkejut mendengarnya.

“Lembutkan suaramu, Nduk, itu tanda cinta terhadap Nabimu,” tegur Abahnya kala itu.

“Astaghfirullah, mau kemana dengan pakaianmu seperti itu, Nduk!”

“Ada acara temu kangen sama teman-teman SMA ku dulu, Bah,” jawab Sasa dengan entengnya.

“Udah ya Bah, keburu telat, nih!” ucapnya dengan merengek.

“Kamu nggak malu sama Allah. Wanita itu wajib menutup auratnya, Nduk, bukan malah diumbar dan dipertontonkan kepada yang bukan muhrimnya.”

“Ah, Abah kayak nggak tahu aja. Ini kan model baju yang lagi ngetren sekarang Bah.”

“Astaghfirullah! Nyebut Nduk, sama Gusti Allah. Coba kalau nanti kamu dipanggil Gusti Allah dalam keadaan belum berjilbab, jawaban seperti apa yang akan kamu berikan, Nduk?!”

Sasa tak lagi berani melihat wajah Abahnya. Dia pun menunduk tak lagi bicara. Dia paling takut kalau mendengar tentang kematian.

“Sudahlah Bah, masih ada hari esok.” ucap istrinya pelan.

“Bu, sebentar lagi petang, tidak akan sempat lagi kita mengajarinya tentang ada dan ketiadaan. Ingat gunakan waktu luang sebelum waktu sempit, anak kita perlu mengenal kematian, agar kelak dia akan lebih bertaqwa kepada Yang menyembunyikan siang ketika datang waktu malam. Setiap manusia pasti akan kembali kepadaNya. Kita tidak akan pernah tahu kapan dan dimana. Aku khawatir nanti sepeninggalku, aku belum bisa membina dan mendidik keluarga ini menjadi keluarga yang sakinah. Keluarga yang dipenuhi dengan Rahmat dan Ridho Allah. Dan kelak di akhirat, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah.”

“Injih Abah.”

Tiba-tiba…

“Nduk, ayo kita pulang! Tuh, kasihan Nak Herman sudah menunggu lama,” ucap Ibunya pelan membuyarkan lamunannya.

“Bu, aku masih kangen Abah. Ijinkan aku barang sebentar untuk mendoakan Abah, ya!” pinta Sasa kepada Ibunya sambil melirik suami tercintanya.

“Ah, wajah tampan itu tersenyum santun kepadaku. Ya Allah aku bersyukur kepadaMu telah Engkau beri aku suami yang sholeh. Suami yang bisa mendekatkanku kepadaMu. Terima kasih Ya Allah,” gumam Sasa sambil mengusap airmatanya.

Lalu dia pun larut dalam doanya.

***
Ini hanyalah latihan menulis, inilah tugas keduaku ketika mengikuti Kelas Menulis. Cerita yang harus diamati, ditiru dan dimodifikasi adalah sebagai berikut :

Jubahku berkelebat hebat di samping pesarean mbah Kyai Jebat. Lelaki kecil itu tak henti-hentinya memandangi mataku yang sudah mulai memerah. "Abah ayo kita pulang!" ucapnya dengan merengek.
   "Lembutkan kata-katamu Le, itu tanda cinta terhadap Nabimu," tegurku.
   "Zauj, biar aku ajak Hadziq keluar dari sini."
   "Khumairu, sebentar lagi petang, tidak akan sempat lagi kita mengajarinya tentang ada dan ketiadaan."
   "Masih ada hari esok."
   "Ingat gunakan waktu luang sebelum waktu sempit, anak kita perlu mengenal kematian, agar kelak dia akan lebih bertaqwa kepada Yang menyembunyikan siang ketika datang waktu malam."
   "Injih Abah."
   Tiba-tiba...
   "Abah ayo kita pulang!" ucap lelaki kecil itu pelan. "Kue tante Lisa yang cantik nanti keburu habis!" bisiknya di telingaku.
   "Kue tante cantik? Astaghfirullah, saran diterima!!" batinku.
   "Bisik-bisik apa siy?!“

***

Minggu, 09 Oktober 2011

KADO TERINDAH

Gambar dari http://www.anneahira.com

Mas Doddy tiba-tiba saja sudah ada di dekatku. Dekat sekali, sambil menatap lekat wajahku. Hingga hembusan nafasnya terasa olehku. Aku jadi salah tingkah. Ah, Mas Doddy masih saja seperti dulu. Sepuluh tahun yang lalu ketika aku masih pacaran dengannya. Pacaran setelah menikah, begitu indah bila dirasa. Seperti indahnya bunga-bunga surga. Aku tersenyum sendiri dalam hati.
          “Ada apa sih, Mas? Jangan memandangiku seperti itu, ah!” kataku sambil menggeser tempat dudukku. Tapi Mas Doddy tetap saja pada posisinya, tak beranjak sedikit pun. Hingga aku tak bisa bergerak. Malah sesekali tangannya yang kekar itu bergelayut manja di pinggangku. Dia memelukku erat.
“Sayang, jalan-jalan, yuk!” ajak Mas Doddy lembut di telingaku yang sempat menggetarkan hati.
“Bosan di rumah terus. Sekali-kali kita memanjakan diri. Sekalian cari makan di luar. Jadi hari ini nggak usah masak. Gimana, yang?”
          Sebenarnya aku ingin menyampaikan kabar gembira ini secepatnya kepada Mas Doddy. Tapi aku ragu. Bingung. Bagaimana nanti kalau dia mendengar kabar baikku ini? Pastinya dia akan bahagia atau justru tambah kaget, ya? gumamku dalam hati. Tapi aku harus menyampaikan hasil testpackku kemarin. Bismillah, semoga Mas Doddy bahagia mendengar berita ini.
“Yang, kok diam aja, sih? Lagi marah ya, sama Mas?”
“Nggak kok, Mas. Aku cuma bingung memulainya.”
“Mas…”
“Iya, sayang. Ada apa? dari tadi senyam senyum melulu,” sambil mengerlingkan mata elangnya.
“Aku ingin memberikan sesuatu yang terindah buat Mas Doddy. Mau nggak?”
“Apa itu?”
“Kado.”
“Kado> Emang kado buat apa? Mas kan nggak lagi ulang tahun?”
“Iya sih, tapi apa salahnya?”
“Tahu nggak Mas, aku…”
“Aku positif hamil, Mas,” sambil tersenyum kuperlihatkan hasil testpack yang bergaris merah dua padanya.”
Diam tak ada jawaban.
“Benar yang, apa yang barusan kamu katakan? Mas, nggak salah dengar nih? Kok bisa?!” Masih dengan raut wajah tak percaya.
“Iya, Mas. Nggak salah. Aku hamil. Coba lihat baik-baik hasil testpackku!” pintaku sekali lagi. Dia pun kembali mengamati hasil testpackku itu.
Tiba-tiba…
“Alhamdulillah, setengah berteriak tak percaya, Mas Doddy langsung sujud syukur. Tangis pun tumpah seketika. Aku tahu, Mas Doddy begitu bahagia mendengar kabar ini.
Masih terlihat jelas, delapan tahun yang lalu. Mas Doddy menerima hasil resume uji kesuburan dari sebuah Rumah Sakit terkenal di Jakarta. Dan hasilnya negatif. Kaget bercampur sedih. Bagaimana pun Mas Doddy harus menerima kenyataan itu. Kenyataan bahwa selamanya dia tidak bisa punya anak dari darah dagingnya sendiri. Aku percaya, Mas Doddy orangnya kuat dan teguh imannya. Mas Doddy hanya percaya kepada Allah. Allahlah Yang Maha Berkehendak. Allahlah Yang Maha Berkuasa atas segalanya.
Kami tak henti-hentinya berusaha, berdoa dan memohon kepadaMu, Ya Allah. Sepuluh tahun lamanya, aku dan Mas Doddy menanti sang buah hati. Dan penantian itu pun berakhir. Hari ini, Allah mengabulkan doa kami. Terima kasih Ya Allah atas anugerah yang terindah dariMu. Kami pun tersenyum bahagia.

***
Tulisanku ini terinspirasi dari sahabatku sendiri yang sudah menikah selama hampir sebelas tahun tetapi sampai sekarang belum dikarunia keturunan. Semoga Allah Subhanahu wata’ala segera memberi momongan buat mereka berdua. Aamiin.

Menurut pendapat “Proof Reader” terkait dengan tulisanku ini bahwa pertama dalam pengambilan judul sudah bagus, sesuai dengan jalan ceritanya, kedua mengubah alur dari cerita aslinya dan ketiga masih banyak EYD yang perlu diperbaiki. Sempat kena peringatan juga nih karena setiap tugas yang diberikan, aku selalu mengubah alur ceritanya he he memang aku lebih suka seperti itu biar bisa berekspresi sendiri. Murid yang satu ini emang bandel kok he he








 






Jumat, 07 Oktober 2011

AMATI-TIRU-MODIFIKASI


Jangan heran dengan postinganku kali ini. Ini hanyalah sebuah cerita fiktif belaka. Cerita fiksi yang aku tulis ketika mendapatkan tugas pertama kali di Kelas Menulis yang sedang aku ikuti saat itu. Tepatnya ketika mendapatkan tugas menulis dengan cara ATM (AMATI-TIRU-MODIFIKASI). Dan inilah cerita yang harus diamati, ditiru dan dimodifikasi. Silahkan dibaca dan cobalah untuk menuangkannya ke dalam tulisan. Selamat mencoba, ya!

***
Wanita muda itu tiba-tiba saja sudah ada di pintu kamarku. Wajahnya tidak seperti biasa. Kusut. Bingung. Dia melemparkan amplop coklat ke tubuhku sebelum Aku bangun dari kasur. 
“Lihat...,” katanya.
Aku membuka amplop. Ada Testpack yang masih sedikit basah. Positif. Alisku melengkung sambil melihat wanita muda itu, kakak iparku.

“Mas Arif pasti senang….” Aku bergumam menyebut nama kakakku. 
Aku lalu membuka kertas dengan kop surat sebuah rumah sakit terkenal di Jakarta. Bertanggal setahun lalu. Sebuah resume uji kesuburan atas nama Arif, kakakku. Negatif.
Aku pucat dan berkeringat.

***
Hemm…bingung juga sih.  Aku sempat terdiam lama mengamati tulisan itu. “Boleh nggak ya, kalau aku menulis selain yang dicontohkan?” tanyaku dalam hati. Kalo itu mah bukan ATM namanya he…he...Aku jawab sendiri dengan batinku. Akhirnya aku paksain deh untuk memulai menggerakkan jemariku. Dan jadilah tulisanku dan aku beri judul “Kado Terindah”

Bersambung...