Senin, 14 Maret 2011

PELAJARAN PERTAMA

Assalaamu’alaikum Warahmatullah Wabarakaatuh.
Alhamdulillah, hari ini saya ingin menyapanya kembali. Setelah dua bulan lebih, saya “off” alias berhenti dari aktivitas menulis. Capek, letih, suntuk….itulah yang saya rasakan. Tugas-tugas semakin menumpuk. Tapi saya sudah terlanjur berjanji. Berjanji pada diri sendiri bahwa saya mau menulis apa saja yang saya bisa. Saya ingin merangkai kata demi kata menjadi sebuah tulisan walaupun tulisan saya nggak keren-keren amat, tapi semoga bisa dinikmati dan diambil manfaatnya buat siapa saja.
Tangan ini rasanya sudah sulit untuk digerakkan tapi hati tidak bisa dibohongi. Konon ada yang mengatakan bahwa “Kalau kita sekali saja berhenti untuk menulis maka kita akan merasa berat untuk memulainya kembali”. Dan ternyata apa yang dikatakannya itu benar, seperti apa yang saya alami saat ini.
Semua perlu belajar, belajar dan belajar. “Uangku Ya Uangku Uangmu Ya Uangku” adalah tulisan pertama saya yang lolos dari “Proof Reader”. Alhamdulillah sudah bisa posting satu tulisan. Itupun masih mendapatkan kritikan dari salah satu pembaca gara-gara gaya bahasa saya yang kurang pas. “Memiliki uang adalah salah satu kunci kebahagiaan sebuah rumah tangga,” begitu kira-kira kalimatnya. Akhirnya saya merubahnya dengan “Memiliki uang adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan sebuah rumah tangga.” Mungkin karena saya memakai kata “kunci” yang diartikan bahwa kunci itu adalah “yang utama”. Jadi walaupun saya menggunakan kalimat “salah satu kunci” tetap saja diartikan “yang utama.” Sedangkan kebahagiaan sebuah rumah tangga, memiliki uang adalah bukan yang utama. Bagiku kritikan itu adalah kritikan yang membangun. Dengan begitu ke depannya saya akan lebih hati-hati dalam menuangkannya. Maaf apabila ada perubahan dalam tulisan saya.
Tulisan kedua, “Cinta Pertama Rara Karena-Nya” masih perlu banyak perbaikan. Pertama masih tulisan khas penulis pemula. Kedua masih ada kesalahan ejaan EYD. Ketiga secara isi kurang menarik karena tidak sampai pada endingnya bagaimana, jadi pembaca tidak mendapatkan hikmahnya. Sedangkan keempat terlalu banyak mengutip puisi, lagu dan narasi lain sehingga orang bosan kalau panjang-panjang, diambil yang intinya saja. Kelima apabila memakai kata ganti “aku” harus bercerita yang baik, tidak dikesankan kita menyombongkan diri, mencritakan diri sebagai orang yang terlalu baik, terlalu dermawan atau malah orang yang susah yang layak untuk dikasihani. Dan ini harus banyak berlatih. Akhirnya tulisan ini tidak saya posting ke blog.
“Banyak-banyaklah menulis. Karena seperti Ifa belajar berjalan, kamu akan berkali-kali jatuh dan nikmati saja semua itu.” (Ifa adalah keponakanku yang masih berumur 1,5 th). Itulah saran pertama sekaligus pelajaran pertama yang saya dapatkan dari “Proof Reader” saya.
Saya sengaja menuliskan semua ini, karena saya ingin berbagi pengalaman dengan para pecinta pena. Semoga dengan pengalaman saya ini, pembaca juga bisa mengambil pelajarannya.
Saya mengakui bahwa tulisan saya khas penulis pemula. Ya memang benar karena saya masih penulis pemula belum apa-apa dan belum ada apa-apanya. Belum pernah ikutan kontes dan belum pernah sekalipun ikut ajang lomba menulis. Blog saya ini cenderung sebagai tempat curhat, tempat saya untuk berlatih menulis. Kata-kata saya masih banyak yang belepotan.
Untuk selanjutnya, saya sengaja tidak melalui “Proof Reader” lagi, biarlah semua mengalir apa adanya. Saya ingin para pembaca yang menilainya sendiri. Saya mohon kritik dan sarannya.
Wassalaamu’alaikum Warahmatullah Wabarakaatuh
Wallahu a’lam bis shawab

SERAYA MENEMUKAN MAINAN BARU

Afa dan Azril
  Mmmmoooo….!!!
“Bulek, suala apa itu?” tanya Afa sambil melototkan matanya. Matanya yang bulat jadi tambah bulat. Alisnya semakin terangkat. Mungkin baru sekali ini dia dengar suara sapi. Maklum, selama ini dia hidup di kota.
“ Oh.., itu suara sapi, dik Afa,” jawabku sambil tersenyum.
Afa adalah keponakanku yang nomor lima dari Kakakku yang pertama. Umurnya kurang lebih 3,5 th. Dia sudah pintar bicara hanya belum bisa bilang ‘ r ‘  he..he..he
  
“ Bulek, Dik Afa pengin lihat sapi?” pintanya sambil menarik-narik tanganku.
Belum sempat aku menjawab, eh..ternyata Kakak-kakaknya sudah duluan memanggilnya.
“Dik Afaaa.., lihat sapi, yuk!” teriak mereka sambil berlari menuju kandang sapi di samping rumah.
Tanpa pikir panjang, Afa langsung lari mengikuti mereka. Aku tersenyum dibuatnya.
“Dik Afa…Dik Afa...”
Hari ini, kami sekeluarga bersilaturrahim ke rumah mertuanya adikku. Mumpung liburan. Kebetulan istrinya melahirkan anak yang pertama cucu yang ke empatbelas dari Ibuku. Sebenarnya, rumahnya tidak terlalu jauh dari jalan raya, sekitar 400 meteran. Mungkin karena mereka memelihara sapi, jadi kesannya seperti di desa. Apalagi di sekitar rumah, banyak berkeliaran bebek putih. Disini sawah masih membentang luas, beda dengan di kota.
“ Buleek…!” suara Afa mengagetkanku.
“ Tadi, Dik Afa lihat sapi, buaanyak!” Sambil tangannya membuat lingkaran besar.
“ Banyak ya? Coba ada berapa sapinya?”
“ Ada tiga, Bulek!” dengan semangat, Afa menunjukkan jarinya kelima-limanya. Lagi-lagi aku tersenyum dibuatnya.
“Dik Afa, kalau tiga itu begini,” kutunjukkan jari-jariku berjumlah tiga.
Dia tersenyum malu sambil memperlihatkan gigi-giginya yang mulai menghitam karena kebanyakan makan permen.
“Trus, ada apa lagi disana?” tanyaku sambil tersenyum.
“Ada sapi, ada lumput, ada makanan…” sambil menghitung dengan jari-jarinya. Sementara matanya melirik ke kanan dan ke kiri, mengingat-ingat kalau ada yang ketinggalan belum disebutkan.
Aku coba bertanya lagi, “Kalau makanannya sapi itu apa sih, Dik Afa?”
“Lumput, Bulek,” jawabnya sambil ketawa. Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan.
Kwek.. kwek… kwekkkk…!!!
“Buleek, apa itu?!” sambil menunjuk ke arah bebek-bebek itu.
Benar juga, ada segerombolan bebek berwarna putih sedang asyik berkejar-kejaran dengan teman-temannya. Kelihatannya mereka sedang cari makan.
“Oh.., itu namanya bebek. Kenapa, Dik Afa?”
“Dik Afa, pengin kesana. Lihat sama Mbak Ais, ya, Bulek?” (Mbak Ais, Kakaknya yang sulung)
“Ya sudah, kalau gitu Bulek ikutan. Bulek pakai sandal dulu, ya!”
Belum sempat aku pakai sandal, eh...dia sudah lari duluan. Biasanya dia minta ‘gendong’. Jadilah aku lari mengejarnya.
“Buleek! Lihat, bebeknya banyak sekali!”
Bebek-bebek itu sedang asyik bermain di pinggir selokan yang tidak penuh air. Tenang dan dengan cuweknya sambil sesekali bebek-bebek itu menjulurkan paruhnya ke dalam air.
“Buleek…Buleeek!! sambil teriak-teriak. Itu, bebeknya lagi minum!”
“Bebeknya lagi cali makan, Bulek!” Afa pun menyahut tidak mau kalah.
Senang sekali dia, seraya menemukan mainan baru. Mainan yang belum pernah dia lihat selama ini. Matanya berbinar-binar bak bintang kejora. Suaranya ramai sekali, berbaur dengan suara bebek dan teriakan Kakak-kakaknya. Semangat sekali mereka. Jadi ketawa sendiri, aku.
Tak seberapa lama kemudian, aku mengajak mereka untuk segera kembali. Matahari mulai meninggi bertanda hari sudah semakin siang. Panaspun terasa menyengat kulitku. Lagian perutku sudah berbunyi berkali-kali, ingin segera minta diisi. Apakah mereka nggak merasa lapar atau kepanasan seperti aku? Apakah karena asyiknya bermain dengan bebek-bebek itu lantas tidak merasakan apa-apa?
“Sudah ya! Pulang, yuk!”
 “Nggak mau, entar dulu!” jawab mereka serentak.
“Bulek, sudah capek nih!” pintaku. Aku mulai kehabisan tenaga karena mengejar-ngejar Afa yang semakin cepat larinya. Dia masih perlu diawasi geraknya.
“Pulang, yuk!” sekali lagi aku meminta.
Nggak ada jawaban. Eh.., aku dicuwekin begitu saja. Saking asyiknya bercanda sama bebek-bebek itu, mereka sudah nggak mendengar lagi ajakanku.
“Capek, deeh. Sabar…sabaar!” batinku.
“Buleek! Bebeknya difoto dulu, ya!"
Aku diam saja, sambil bengong melihat mereka asyik bercengkrama dengan bebek-bebek itu.
“Ayo, Buleeek ?!”
“Iya…iya!” Tahu aja mereka kalau aku bawa kamera.
“Oke, siap-siap ya!” Akhirnya aku foto mereka dengan bebek-bebek itu.
“Satu…dua…tiga!”
“Klik!” kamera kuarahkan ke mereka.
“Hayoo…, mana senyumnya?!” Jadilah mereka bergaya seperti artis masuk desa he...he... Ternyata keponakanku pada narcis semua, kayak Buleknya. Aku tersenyum dalam hati.
“Satu…dua…tiga!”
“Klik!”
Kufoto mereka bersama bebek-bebek itu. “Ah…, melihat tingkah polah dan senyum mereka, capekku jadi hilang deh, he..he..”
***
Ketika kami sedang asyik makan, tiba-tiba dikejutkan dengan keluarnya anak-anak sapi dari kandang sebelah rumah. Sapi-sapi itu lari sekencang-kencangnya seperti dikejar setan. Kami semua ketawa melihat pemandangan itu. Ibu mertua adikku bilang kalau pintu kandang sapinya lupa nggak ditutup lagi.
“Iya, tadi pintunya nggak aku tutup,” jawab Azril sambil makan.
Kami semua kaget dengan pengakuan Azril. Eh…tapi Azril malah tenang-tenang saja sambil meneruskan makannya.
“Tadi…tadi pas aku lihat, talinya udah longgar, kan kalau talinya udah longgar, sapinya bisa lari sendiri, Bulek,” Azril menambahkan.
“Cerdas juga dia,” batinku mengiyakan.
“Nggak apa apa, nanti sapinya bisa pulang sendiri kok,” Ibu mertuanya adikku menegaskan sambil tersenyum pada Azril.
“Haah? Sapi bisa pulang sendiri?”
“Emang tahu rumahnya?”
“ Kalau masih kecil, sapi itu masih bisa mengingat dimana rumahnya. Jadi bisa balik sendiri nanti,” tegas beliau.
Kami semua tertawa bersama.    
Wallahu a’lam bis shawab

LELAKI ITU


 Mendung. Langit tertutup awan hitam, tebal bergulung-gulung tertiup angin. Kilat bersahutan, diiringi gerimis yang mulai berjatuhan satu-satu. Segera kukenakan jaket hangatku berharap bisa mengurangi rasa dingin yang mulai menusuk tulangku. Buru-buru kukeluarkan sepeda motorku dan kulaju lebih cepat dari biasanya.
Alhamdulillah, aku akhirnya sampai juga di sebuah Supermarket “Giant” tidak jauh dari tempat tinggalku. Segera aku parkir sepeda motor. Seperti biasa kalau awal bulan begini, parkir kendaraan baik motor maupun mobil selalu penuh, tidak pernah sepi dari para pengunjung.
Tiba-tiba hujanpun turun dengan derasnya. Air seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Secepat itu juga, aku segera berlari menuju pintu masuk supermarket. Begitupun dengan pengunjung lainnya. Ketika berhamburan mencari tempat berteduh, kulihat samar-samar dari kejauhan, tepat di seberang pintu keluar parkir. Seorang lelaki duduk terpekur, meringkuk di sebuah sudut sempit bersama dengan barang dagangannya. Dia begitu tenang dan nyaman di tempat itu, tidak seperti aku dan pengunjung lainnya yang panik mencari tempat berteduh. Kuamati sosok lelaki itu dari kejauhan. Terbersit rasa keraguan dalam diriku. Sepertinya aku kenal dengan lelaki itu? Tapi dimana ya? Kapan aku pernah bertemu dengannya? Hufh.., otakku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.
Kuurungkan niatku untuk lebih lama memikirkan sesosok lelaki itu. Nanti saja setelah aku selesai berbelanja. Aku ingin menyapanya. Mungkin dengan aku menyapanya, aku jadi ingat siapa sebenarnya lelaki itu.
Kuteruskan langkahku untuk masuk ke dalam supermarket. Wah, kayaknya butuh waktu lama nih. Kulihat antrian panjang di kasir sebelah timur. Belanjaannya pada banyak-banyak lagi. Ya.., kunikmati saja pemandangan itu sambil menunggu hujan reda.
Kurang lebih tiga puluh menit aku berkeliling, kurasa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Waktunya aku ngantri di kasir. Aku masih kepikiran dengan lelaki itu. Lelaki itu seumuran ayahku.
“Sembilan puluh delapan ribu rupiah, Mbak!” suara kasir itu menyadarkanku.
Setelah selesai aku bayar, aku bergegas keluar supermarket dan berharap lelaki itu masih ada disana.
Alhamdulillah hujan mulai reda, meninggalkan sisa-sisa genangan air di sepanjang jalan menuju tempat parkir sepeda motorku. Tapi… aku merasa ada yang hilang. Kulihat lelaki itu sudah tidak ada lagi di tempatnya semula. Kemanakah dia? Apakah lelaki itu sudah berpindah tempat? Apa gerangan yang terjadi? Kuarahkan pandanganku ke setiap sudut yang ada. Kucoba menelusurinya. Aku berharap lelaki itu masih ada disana. Tapi setelah beberapa menit berlalu, aku tidak menemukan lagi sosoknya. Semoga laki-laki itu baik-baik saja. Dan semoga suatu saat nanti aku bisa bertemu dengannya disini, di tempat yang sama.
***
 Terlihat jelas dimataku. Hampir dua tahun yang lalu, aku pernah melihat lelaki itu. Dia berteduh di bawah pohon beringin disamping gerbang kantorku.
Hufh…, aku menahan nafas. Hari ini rasanya gerah sekali. Suhu udara siang ini terasa lebih panas daripada hari-hari sebelumnya. Wajar apabila lelaki itu berteduh menghindari  panasnya sinar matahari yang semakin membakar kulitnya. Kulitnya yang hitam semakin menghitam. Keringat mengucur deras. Kulihat rambutnya pun sudah banyak yang beruban. Kuamati setiap gerak geriknya dari kaca jendela kantorku. Jaraknya memang nggak begitu jauh, jadi aku bisa mengamati lelaki itu dengan jelas.
Akhirnya kuhampiri lelaki itu. Dia tersenyum melihat kedatanganku. Senyumnya yang tulus membuat wajahnya yang tirus kelihatan agak lebih segar.
“ Pak, disini panas. Silahkan berteduh di dalam saja, Pak! Di dalam lebih adem,” pintaku dengan lembut.
“ Iya, Mbak, terima kasih. Saya disini saja,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.
“ Beneran nih, Pak. Bapak nggak kepanasan?”
“ Iya, Mbak, beneran. Nggak pa pa, Bapak disini saja.”
“ Oh ya, Bapak lagi jualan apa?” tanyaku saat itu.
“ Saya jualan sermiler, Mbak,” jawab Bapak itu sambil menunjukkan dagangannya.
“ Oh…, kebetulan sekali. Selmiler makanan kesukaan saya, lho, Pak,” jawabku bangga karena seumur-umur di Surabaya, barukali ini aku menemui makanan seperti ini. Kebetulan di kantor nggak ada camilan buat dimakan. Hari ini aku kelaparan, pengin ngemil terus rasanya.
“ Saya beli tiga bungkus, ya, Pak!”
 “ Ngomong-ngomong, Bapak rumahnya mana?”
“ Saya dari Blitar, Mbak,” jawab Bapak itu sambil membungkus sermiler pesananku.
“ Saya kira dari Surabaya sini saja, Pak.”
“ Blitar ya, Pak. Jauh banget. Trus Bapak nyampek Surabaya naik apa?” tanyaku berlanjut.
“ Saya naik kereta barang, Mbak,” jawab Bapak itu sambil memandangku.
“ Hah? Kereta barang? Maksud Bapak?”
“ Saya numpang, Mbak. Ongkosnya mahal kalau naik kereta. Nggak mencukupi, Mbak. Makanya saya numpang di kereta barang saja. Uang hasil penjualan lebih baik saya berikan ke istri saya buat kebutuhan sehari-hari. Lagian ke-tiga anak saya sudah pada berkeluarga, Mbak. Jadi di rumah tinggal berdua sama istri. Saya tidak mau menjadi beban buat anak-anak saya. Saya sudah merasa bahagia melihat mereka hidup bahagia. Saya tidak mau mengganggu kebahagiaan anak-anak saya, Mbak. Alhamdulillah, saya masih kuat mencari uang sendiri untuk bertahan hidup.”
 “ Trus, Bapak dari stasiun ke sini naik apa?” tanyaku pengin tahu.
“ Ya…, jalan kaki sambil nawarin dagangan saya. Bagi saya sudah biasa, kok,  Mbak,” jawab Bapak itu sambil tersenyum.
“ Bapak masih kuat, Pak?” Aku bertanya lagi.
“ Jalan kaki?” tanyaku menambahkan.
“ Iya, Mbak. Saya masih kuat, buktinya saya baik-baik saja. Saya sudah dua puluh tahun kerja seperti ini. Berpindah-pindah tempat, dari satu kota ke kota lain dan sekarang saya terdampar di Surabaya ini, Mbak.”
“ Hebat dong, Pak!” aku memberikan semangat untuknya.
 Tapi dalam hati, aku menangis iba. Leherku rasanya tercekat, ludah sulit untuk kutelan. Begitu besar pengorbanan Bapak ini untuk membahagiakan ke-tiga anak dan istrinya. Bagaimanakah dengan anak-anaknya? Apakah mereka tahu bagaimana perjuangan Ayahnya untuk menghidupi mereka? Apakah mereka juga tahu seberapa besar pengorbanan Ayahnya untuk mereka?
***
Kedudukan orang tua dalam Islam sangatlah istimewa. Allah berfirman dalam QS. Al-Isra’ : 23-24 yang artinya :
”Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di sisimu maka janganlah mengatakan ‘ah’ kepada keduanya dan janganlah membentak kepada keduanya. Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, “Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangi aku di waktu kecil.”
Begitu besar pengorbanan kedua orang tua kita. Ibunda yang telah mengasuh, merawat dan mendidik kita dari kecil hingga menginjak remaja dan dewasa. Bahkan sampai mengantarkan kita kejenjang berumah tangga. Ayahanda yang penuh perhatian, melindungi dan mencarikan nafkah serta mengarahkan pendidikan kepada kita, anak-anaknya. Itulah sebabnya Allah Subhanahu Wata’ala menganjurkan kepada kita untuk berlaku baik dan melarang kita untuk menyakiti hati kedua orang tua kita.
Betapapun besarnya kebaikan dan balas budi kita kepada kedua orang tua, sungguh tak sebanding dengan besarnya pengorbanan dan jasa yang telah mereka berikan kepada kita, anak-anaknya. Sungguh tak akan terbayarkan dengan apapun di dunia ini.
          Janganlah kita durhaka kepada kedua  orang tua kita. Jangan pula  lupa untuk selalu mendoakan keduanya, kapan dan dimanapun kita berada. Marilah kita sama-sama memperlakukan kedua orang tua kita dengan sebaik-baiknya dan menyayangi keduanya sebagaimana mereka menyayangi kita di waktu kecil.

Wallahu a’lam bi shawab