Senin, 14 Maret 2011

SERAYA MENEMUKAN MAINAN BARU

Afa dan Azril
  Mmmmoooo….!!!
“Bulek, suala apa itu?” tanya Afa sambil melototkan matanya. Matanya yang bulat jadi tambah bulat. Alisnya semakin terangkat. Mungkin baru sekali ini dia dengar suara sapi. Maklum, selama ini dia hidup di kota.
“ Oh.., itu suara sapi, dik Afa,” jawabku sambil tersenyum.
Afa adalah keponakanku yang nomor lima dari Kakakku yang pertama. Umurnya kurang lebih 3,5 th. Dia sudah pintar bicara hanya belum bisa bilang ‘ r ‘  he..he..he
  
“ Bulek, Dik Afa pengin lihat sapi?” pintanya sambil menarik-narik tanganku.
Belum sempat aku menjawab, eh..ternyata Kakak-kakaknya sudah duluan memanggilnya.
“Dik Afaaa.., lihat sapi, yuk!” teriak mereka sambil berlari menuju kandang sapi di samping rumah.
Tanpa pikir panjang, Afa langsung lari mengikuti mereka. Aku tersenyum dibuatnya.
“Dik Afa…Dik Afa...”
Hari ini, kami sekeluarga bersilaturrahim ke rumah mertuanya adikku. Mumpung liburan. Kebetulan istrinya melahirkan anak yang pertama cucu yang ke empatbelas dari Ibuku. Sebenarnya, rumahnya tidak terlalu jauh dari jalan raya, sekitar 400 meteran. Mungkin karena mereka memelihara sapi, jadi kesannya seperti di desa. Apalagi di sekitar rumah, banyak berkeliaran bebek putih. Disini sawah masih membentang luas, beda dengan di kota.
“ Buleek…!” suara Afa mengagetkanku.
“ Tadi, Dik Afa lihat sapi, buaanyak!” Sambil tangannya membuat lingkaran besar.
“ Banyak ya? Coba ada berapa sapinya?”
“ Ada tiga, Bulek!” dengan semangat, Afa menunjukkan jarinya kelima-limanya. Lagi-lagi aku tersenyum dibuatnya.
“Dik Afa, kalau tiga itu begini,” kutunjukkan jari-jariku berjumlah tiga.
Dia tersenyum malu sambil memperlihatkan gigi-giginya yang mulai menghitam karena kebanyakan makan permen.
“Trus, ada apa lagi disana?” tanyaku sambil tersenyum.
“Ada sapi, ada lumput, ada makanan…” sambil menghitung dengan jari-jarinya. Sementara matanya melirik ke kanan dan ke kiri, mengingat-ingat kalau ada yang ketinggalan belum disebutkan.
Aku coba bertanya lagi, “Kalau makanannya sapi itu apa sih, Dik Afa?”
“Lumput, Bulek,” jawabnya sambil ketawa. Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan.
Kwek.. kwek… kwekkkk…!!!
“Buleek, apa itu?!” sambil menunjuk ke arah bebek-bebek itu.
Benar juga, ada segerombolan bebek berwarna putih sedang asyik berkejar-kejaran dengan teman-temannya. Kelihatannya mereka sedang cari makan.
“Oh.., itu namanya bebek. Kenapa, Dik Afa?”
“Dik Afa, pengin kesana. Lihat sama Mbak Ais, ya, Bulek?” (Mbak Ais, Kakaknya yang sulung)
“Ya sudah, kalau gitu Bulek ikutan. Bulek pakai sandal dulu, ya!”
Belum sempat aku pakai sandal, eh...dia sudah lari duluan. Biasanya dia minta ‘gendong’. Jadilah aku lari mengejarnya.
“Buleek! Lihat, bebeknya banyak sekali!”
Bebek-bebek itu sedang asyik bermain di pinggir selokan yang tidak penuh air. Tenang dan dengan cuweknya sambil sesekali bebek-bebek itu menjulurkan paruhnya ke dalam air.
“Buleek…Buleeek!! sambil teriak-teriak. Itu, bebeknya lagi minum!”
“Bebeknya lagi cali makan, Bulek!” Afa pun menyahut tidak mau kalah.
Senang sekali dia, seraya menemukan mainan baru. Mainan yang belum pernah dia lihat selama ini. Matanya berbinar-binar bak bintang kejora. Suaranya ramai sekali, berbaur dengan suara bebek dan teriakan Kakak-kakaknya. Semangat sekali mereka. Jadi ketawa sendiri, aku.
Tak seberapa lama kemudian, aku mengajak mereka untuk segera kembali. Matahari mulai meninggi bertanda hari sudah semakin siang. Panaspun terasa menyengat kulitku. Lagian perutku sudah berbunyi berkali-kali, ingin segera minta diisi. Apakah mereka nggak merasa lapar atau kepanasan seperti aku? Apakah karena asyiknya bermain dengan bebek-bebek itu lantas tidak merasakan apa-apa?
“Sudah ya! Pulang, yuk!”
 “Nggak mau, entar dulu!” jawab mereka serentak.
“Bulek, sudah capek nih!” pintaku. Aku mulai kehabisan tenaga karena mengejar-ngejar Afa yang semakin cepat larinya. Dia masih perlu diawasi geraknya.
“Pulang, yuk!” sekali lagi aku meminta.
Nggak ada jawaban. Eh.., aku dicuwekin begitu saja. Saking asyiknya bercanda sama bebek-bebek itu, mereka sudah nggak mendengar lagi ajakanku.
“Capek, deeh. Sabar…sabaar!” batinku.
“Buleek! Bebeknya difoto dulu, ya!"
Aku diam saja, sambil bengong melihat mereka asyik bercengkrama dengan bebek-bebek itu.
“Ayo, Buleeek ?!”
“Iya…iya!” Tahu aja mereka kalau aku bawa kamera.
“Oke, siap-siap ya!” Akhirnya aku foto mereka dengan bebek-bebek itu.
“Satu…dua…tiga!”
“Klik!” kamera kuarahkan ke mereka.
“Hayoo…, mana senyumnya?!” Jadilah mereka bergaya seperti artis masuk desa he...he... Ternyata keponakanku pada narcis semua, kayak Buleknya. Aku tersenyum dalam hati.
“Satu…dua…tiga!”
“Klik!”
Kufoto mereka bersama bebek-bebek itu. “Ah…, melihat tingkah polah dan senyum mereka, capekku jadi hilang deh, he..he..”
***
Ketika kami sedang asyik makan, tiba-tiba dikejutkan dengan keluarnya anak-anak sapi dari kandang sebelah rumah. Sapi-sapi itu lari sekencang-kencangnya seperti dikejar setan. Kami semua ketawa melihat pemandangan itu. Ibu mertua adikku bilang kalau pintu kandang sapinya lupa nggak ditutup lagi.
“Iya, tadi pintunya nggak aku tutup,” jawab Azril sambil makan.
Kami semua kaget dengan pengakuan Azril. Eh…tapi Azril malah tenang-tenang saja sambil meneruskan makannya.
“Tadi…tadi pas aku lihat, talinya udah longgar, kan kalau talinya udah longgar, sapinya bisa lari sendiri, Bulek,” Azril menambahkan.
“Cerdas juga dia,” batinku mengiyakan.
“Nggak apa apa, nanti sapinya bisa pulang sendiri kok,” Ibu mertuanya adikku menegaskan sambil tersenyum pada Azril.
“Haah? Sapi bisa pulang sendiri?”
“Emang tahu rumahnya?”
“ Kalau masih kecil, sapi itu masih bisa mengingat dimana rumahnya. Jadi bisa balik sendiri nanti,” tegas beliau.
Kami semua tertawa bersama.    
Wallahu a’lam bis shawab

2 komentar:

  1. serunya ngumpul bareng enam malaikat kecilnya Pak Beh. ngomong-ngomong masih 'belum percaya' soalnya nda ada potonya. hehehe....

    BalasHapus
  2. Ada dong fotonya, emang sengaja nggak aku upload. Entar nanti deh..tunggu tanggal mainnya

    BalasHapus