Senin, 14 Maret 2011

LELAKI ITU


 Mendung. Langit tertutup awan hitam, tebal bergulung-gulung tertiup angin. Kilat bersahutan, diiringi gerimis yang mulai berjatuhan satu-satu. Segera kukenakan jaket hangatku berharap bisa mengurangi rasa dingin yang mulai menusuk tulangku. Buru-buru kukeluarkan sepeda motorku dan kulaju lebih cepat dari biasanya.
Alhamdulillah, aku akhirnya sampai juga di sebuah Supermarket “Giant” tidak jauh dari tempat tinggalku. Segera aku parkir sepeda motor. Seperti biasa kalau awal bulan begini, parkir kendaraan baik motor maupun mobil selalu penuh, tidak pernah sepi dari para pengunjung.
Tiba-tiba hujanpun turun dengan derasnya. Air seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Secepat itu juga, aku segera berlari menuju pintu masuk supermarket. Begitupun dengan pengunjung lainnya. Ketika berhamburan mencari tempat berteduh, kulihat samar-samar dari kejauhan, tepat di seberang pintu keluar parkir. Seorang lelaki duduk terpekur, meringkuk di sebuah sudut sempit bersama dengan barang dagangannya. Dia begitu tenang dan nyaman di tempat itu, tidak seperti aku dan pengunjung lainnya yang panik mencari tempat berteduh. Kuamati sosok lelaki itu dari kejauhan. Terbersit rasa keraguan dalam diriku. Sepertinya aku kenal dengan lelaki itu? Tapi dimana ya? Kapan aku pernah bertemu dengannya? Hufh.., otakku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.
Kuurungkan niatku untuk lebih lama memikirkan sesosok lelaki itu. Nanti saja setelah aku selesai berbelanja. Aku ingin menyapanya. Mungkin dengan aku menyapanya, aku jadi ingat siapa sebenarnya lelaki itu.
Kuteruskan langkahku untuk masuk ke dalam supermarket. Wah, kayaknya butuh waktu lama nih. Kulihat antrian panjang di kasir sebelah timur. Belanjaannya pada banyak-banyak lagi. Ya.., kunikmati saja pemandangan itu sambil menunggu hujan reda.
Kurang lebih tiga puluh menit aku berkeliling, kurasa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Waktunya aku ngantri di kasir. Aku masih kepikiran dengan lelaki itu. Lelaki itu seumuran ayahku.
“Sembilan puluh delapan ribu rupiah, Mbak!” suara kasir itu menyadarkanku.
Setelah selesai aku bayar, aku bergegas keluar supermarket dan berharap lelaki itu masih ada disana.
Alhamdulillah hujan mulai reda, meninggalkan sisa-sisa genangan air di sepanjang jalan menuju tempat parkir sepeda motorku. Tapi… aku merasa ada yang hilang. Kulihat lelaki itu sudah tidak ada lagi di tempatnya semula. Kemanakah dia? Apakah lelaki itu sudah berpindah tempat? Apa gerangan yang terjadi? Kuarahkan pandanganku ke setiap sudut yang ada. Kucoba menelusurinya. Aku berharap lelaki itu masih ada disana. Tapi setelah beberapa menit berlalu, aku tidak menemukan lagi sosoknya. Semoga laki-laki itu baik-baik saja. Dan semoga suatu saat nanti aku bisa bertemu dengannya disini, di tempat yang sama.
***
 Terlihat jelas dimataku. Hampir dua tahun yang lalu, aku pernah melihat lelaki itu. Dia berteduh di bawah pohon beringin disamping gerbang kantorku.
Hufh…, aku menahan nafas. Hari ini rasanya gerah sekali. Suhu udara siang ini terasa lebih panas daripada hari-hari sebelumnya. Wajar apabila lelaki itu berteduh menghindari  panasnya sinar matahari yang semakin membakar kulitnya. Kulitnya yang hitam semakin menghitam. Keringat mengucur deras. Kulihat rambutnya pun sudah banyak yang beruban. Kuamati setiap gerak geriknya dari kaca jendela kantorku. Jaraknya memang nggak begitu jauh, jadi aku bisa mengamati lelaki itu dengan jelas.
Akhirnya kuhampiri lelaki itu. Dia tersenyum melihat kedatanganku. Senyumnya yang tulus membuat wajahnya yang tirus kelihatan agak lebih segar.
“ Pak, disini panas. Silahkan berteduh di dalam saja, Pak! Di dalam lebih adem,” pintaku dengan lembut.
“ Iya, Mbak, terima kasih. Saya disini saja,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.
“ Beneran nih, Pak. Bapak nggak kepanasan?”
“ Iya, Mbak, beneran. Nggak pa pa, Bapak disini saja.”
“ Oh ya, Bapak lagi jualan apa?” tanyaku saat itu.
“ Saya jualan sermiler, Mbak,” jawab Bapak itu sambil menunjukkan dagangannya.
“ Oh…, kebetulan sekali. Selmiler makanan kesukaan saya, lho, Pak,” jawabku bangga karena seumur-umur di Surabaya, barukali ini aku menemui makanan seperti ini. Kebetulan di kantor nggak ada camilan buat dimakan. Hari ini aku kelaparan, pengin ngemil terus rasanya.
“ Saya beli tiga bungkus, ya, Pak!”
 “ Ngomong-ngomong, Bapak rumahnya mana?”
“ Saya dari Blitar, Mbak,” jawab Bapak itu sambil membungkus sermiler pesananku.
“ Saya kira dari Surabaya sini saja, Pak.”
“ Blitar ya, Pak. Jauh banget. Trus Bapak nyampek Surabaya naik apa?” tanyaku berlanjut.
“ Saya naik kereta barang, Mbak,” jawab Bapak itu sambil memandangku.
“ Hah? Kereta barang? Maksud Bapak?”
“ Saya numpang, Mbak. Ongkosnya mahal kalau naik kereta. Nggak mencukupi, Mbak. Makanya saya numpang di kereta barang saja. Uang hasil penjualan lebih baik saya berikan ke istri saya buat kebutuhan sehari-hari. Lagian ke-tiga anak saya sudah pada berkeluarga, Mbak. Jadi di rumah tinggal berdua sama istri. Saya tidak mau menjadi beban buat anak-anak saya. Saya sudah merasa bahagia melihat mereka hidup bahagia. Saya tidak mau mengganggu kebahagiaan anak-anak saya, Mbak. Alhamdulillah, saya masih kuat mencari uang sendiri untuk bertahan hidup.”
 “ Trus, Bapak dari stasiun ke sini naik apa?” tanyaku pengin tahu.
“ Ya…, jalan kaki sambil nawarin dagangan saya. Bagi saya sudah biasa, kok,  Mbak,” jawab Bapak itu sambil tersenyum.
“ Bapak masih kuat, Pak?” Aku bertanya lagi.
“ Jalan kaki?” tanyaku menambahkan.
“ Iya, Mbak. Saya masih kuat, buktinya saya baik-baik saja. Saya sudah dua puluh tahun kerja seperti ini. Berpindah-pindah tempat, dari satu kota ke kota lain dan sekarang saya terdampar di Surabaya ini, Mbak.”
“ Hebat dong, Pak!” aku memberikan semangat untuknya.
 Tapi dalam hati, aku menangis iba. Leherku rasanya tercekat, ludah sulit untuk kutelan. Begitu besar pengorbanan Bapak ini untuk membahagiakan ke-tiga anak dan istrinya. Bagaimanakah dengan anak-anaknya? Apakah mereka tahu bagaimana perjuangan Ayahnya untuk menghidupi mereka? Apakah mereka juga tahu seberapa besar pengorbanan Ayahnya untuk mereka?
***
Kedudukan orang tua dalam Islam sangatlah istimewa. Allah berfirman dalam QS. Al-Isra’ : 23-24 yang artinya :
”Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di sisimu maka janganlah mengatakan ‘ah’ kepada keduanya dan janganlah membentak kepada keduanya. Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, “Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangi aku di waktu kecil.”
Begitu besar pengorbanan kedua orang tua kita. Ibunda yang telah mengasuh, merawat dan mendidik kita dari kecil hingga menginjak remaja dan dewasa. Bahkan sampai mengantarkan kita kejenjang berumah tangga. Ayahanda yang penuh perhatian, melindungi dan mencarikan nafkah serta mengarahkan pendidikan kepada kita, anak-anaknya. Itulah sebabnya Allah Subhanahu Wata’ala menganjurkan kepada kita untuk berlaku baik dan melarang kita untuk menyakiti hati kedua orang tua kita.
Betapapun besarnya kebaikan dan balas budi kita kepada kedua orang tua, sungguh tak sebanding dengan besarnya pengorbanan dan jasa yang telah mereka berikan kepada kita, anak-anaknya. Sungguh tak akan terbayarkan dengan apapun di dunia ini.
          Janganlah kita durhaka kepada kedua  orang tua kita. Jangan pula  lupa untuk selalu mendoakan keduanya, kapan dan dimanapun kita berada. Marilah kita sama-sama memperlakukan kedua orang tua kita dengan sebaik-baiknya dan menyayangi keduanya sebagaimana mereka menyayangi kita di waktu kecil.

Wallahu a’lam bi shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar