Selasa, 01 Februari 2011

UANGKU YA UANGKU, UANGMU YA UANGKU

“Mbak, silahkan duduk! Capek nanti kalau berdiri terus. Maaf, tempatnya seadanya,” kata Bapak tukang tambal ban itu mempersilahkan aku duduk.
“Iya Pak, ma kasih,” jawabku sambil tersenyum.
Aku agak ragu untuk duduk di tempat yang hanya digelar tikar plastik. Apalagi malamnya habis hujan deras, jalanan becek termasuk tempat tambal ban Bapak ini. Bukan apa-apa sih, aku hanya khawatir sama bawahan (rok) yang aku kenakan pagi ini untuk ke kantor. Warnanya putih. Tapi... tak apalah untuk menghormati Bapak tukang tambal ban itu. Sebut saja namanya Pak Karim.
Akhirnya aku duduk sambil menunggu ban sepeda motorku ditambal. Ya… terpaksa deh aku nungguin di pinggir jalan kayak orang ilang he...he....
“Makanya, cepetan nikah biar ada yang merawat sepedanya tuh!” Aku jadi tersenyum sendiri kalau ingat kata-kata temanku. Aku percaya temanku hanya ingin guyonan saja sama aku. Tapi kalau memang benar seperti itu, alangkah sengsaranya jadi seorang suami. Sepeda motor bocor saja harus minta bantuannya. Apa salahnya kalau kita sebagai istri bisa mandiri? Kan itu lebih baik? Jadi, apa-apa nggak harus minta bantuan suami, kecuali kalau memang harus ditemani suami he..he....
Di saat aku sibuk dengan pikiranku, datanglah seorang laki-laki yang tengah menuntun sepeda onthelnya. Kelihatannya ban sepedanya juga lagi bermasalah.
“Kenapa Mas? Mau tambah angin atau nambal ban?” tanya Pak Karim sambil membetulkan tempat duduknya.
“Mau nambal ban, Pak! Tadi sempat meletus,” jawab laki-laki itu pelan.
“Wah, kalau seperti itu saya gak bisa nambal Mas. Apalagi ban luarnya sudah kelihatan tipis, ditambal pun gak ada gunanya. Lebih baik diganti aja, Mas. Ban luar harganya sekitar tiga puluh enam ribu dan ban dalamnya sekitar dua puluh lima ribu. Tapi saya sendiri gak ada persediaan. Mas beli aja di toko!” pinta Pak Karim.
Laki-laki itu tidak segera beranjak dari tempatnya berdiri. Dia masih menunggu sambil memegangi sepeda onthelnya. Laki-laki itu kelihatannya masih berharap, kalau-kalau Pak Karim berubah pikiran dan mau melihat kondisi ban sepedanya, apakah memang benar-benar sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
Dan akhirnya, benar juga dugaannya.
“Meletusnya gimana sih, Mas? Bunyi duooor atau bagaimana?” tegas Pak Karim.
Laki-laki itu menjawab,”Tadi saya sempat dengar bunyi buuss, gitu Pak!”
“Oh… ya sudah, kalau begitu saya periksa dulu saja, sambil menunggu punyae Mbake ini,“ jawab Pak Karim.
Tak seberapa lama setelah diperiksa, Pak Karim berkata, “Oke Mas, ternyata masih bisa ditambal. Tapi hanya untuk sementara. Habis ini segera diganti bannya, karena ban luar dan dalamnya sudah waktunya ganti.
Laki-laki itu mulai agak tenang dengan jawaban Pak Karim. “Saya pulang dulu, Pak!
 Laki-laki itu kemudian pamitan pulang. Pak Karim pun mengangguk, tanda mengiyakan. Sepedanya ditinggal begitu saja. 
  Aku sendiri terheran-heran. Lho, Pak! Kenapa orangnya malah tambah pulang? Sepedanya kan udah bisa ditambal?” selidikku.
Ya... biasalah, Mbak! Ambil uang dulu,” jawab Pak Karim dengan santainya.
“Emang ongkosnya berapa sih Pak, kok sampai dia pulang untuk ambil uang?” tanyaku.
“Empat ribu rupiah, Mbak..,” jawab Pak Karim. 
Hah? Aku sempat kaget juga. Masak uang empat ribu rupiah saja harus pulang ke rumah? Apa memang gak bawa uang sama sekali apa?
“Rumahnya dekat ya Pak dari sini?” tanyaku.
“Dekat kok Mbak. Situ lho Mbak, kos-kosan rumah tangga, paling-paling 300 meteran dari sini,” jawabnya.
“Ya begitulah Mbak, namanya orang rumah tangga itu lain-lain. Kalau Masnya tadi, uang biasa dibawa istrinya. Jadi setelah gajian, semua dikasihkan istrinya.
Masak sih, Pak?” sambungku. Tapi kalau memang benar seperti itu, sebagai istri kan mestinya sebagian dikasihkan suaminya? Paling tidak… cukup buat uang saku kalau nanti di jalan ada apa-apa. Ya seperti laki-laki ini tadi. Untung rumahnya masih dekat. Coba kalau jauh kan kasihan, mana orangnya mau kerja lagi. Ah…, pagi-pagi sudah ngomongin orang. Astaghfirullah!
Belum hilang rasa heranku, Pak Karim malah menambahkan. “Saya saja cerai Mbak sama istri saya.
Aku seperti disambar petir di pagi hari. Aku tidak menyangka kalau Pak Karim seperti itu. Astaghfirullah!
“Gimana mau gak cerai, Mbak. Istri saya itu orangnya cerewet, suka ngatur. Saya mendapat uang banyak atau sedikit diomelin. Kalau masalah keuangan, istri saya yang mengatur. Jadi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena semua penghasilan diminta sama istri. Ya sudah Mbak, saya cerai aja. Buat apa istri kayak gitu? Bikin saya tambah pusing. Saya pulangkan saja ke rumah orang tuanya. Saya bilangin ya, Mbak. Laki-laki itu gak suka diatur-atur, lama-kelamaan dia gak betah di rumah.
Pak Karim menghentikan ceritanya. Dia menerawang jauh, sepertinya ada beban berat yang sedang menimpanya. “Saya sekarang sudah menikah lagi, Mbak. Masalah keuangan, gantian saya yang mengatur. Yang penting kebutuhan istri saya sudah tercukupi. Tapi saya juga pesan sama mantan istri saya, kalau suatu saat pengin balikan lagi sama saya, saya mau menerima dia kembali.
Pak Karim akhirnya curhat tentang keluarganya. Aku tidak banyak berkomentar, khawatir nantinya malah merembet kemana-mana. Aku sendiri juga tidak tahu yang sebenarnya dengan keluarganya Pak Karim. Aku hanya tersenyum mendengar pengakuan Pak Karim. Begitu mudahnya dia menceraikan istrinya dan begitu gampangnya pula dia menerimanya kembali. Ya sudah, aku dengarkan saja keluhannya.
Aku hanya sempat bilang bahwa cerai itu walaupun diperbolehkan tapi sebenarnya perbuatan yang sangat-sangat dibenci oleh Allah. Pak Karim mengerti hal itu. Tapi dia melakukannya karena terpaksa, sudah tidak tahan dengan perlakuan istrinya dan menurut dia jalan yang terbaik adalah dengan menceraikannya.
Aku teringat dengan prinsip temanku dulu. Dia seorang wanita karir. Sebelum menikah,  buat dia “Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku”. Setelah menikah pun ternyata prinsipnya itu tidak berubah, masih tetap sama “Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku”. Kebetulan suaminya juga pekerja kantoran, jadi mereka sama-sama bekerja.  
“Bukan apa-apa sih dengan prinsip itu, tapi menurutku apakah gak terlalu egois?” batinku saat itu. Walaupun menurut agama, wanita berhak atas uang pribadinya. Sebelum menikah misalnya, seluruh penghasilan adalah milik kita pribadi. Kita berhak untuk mengaturnya sendiri, memberi orang tua atau tidak, belanja baju baru atau tidak, mau beli sepeda motor atau tidak. Tapi, kalau sudah dalam ikatan pernikahan apakah prinsip itu masih berlaku? Apakah kita akan membiarkan suami kita dalam kesulitan? Apakah kita akan diam saja sementara saudara dekat kita membutuhkan pertolongan?
Pernah suatu hari, suami temanku itu minta uang untuk membeli pulsa. Untuk membeli pulsa saja, dia harus minta ke istrinya, karena semua penghasilan diberikan kepadanya. Baik itu tabungan, ATM, kartu kredit, semua dipegang oleh istrinya. Sampai-sampai beli pulsa saja dicek sama istrinya, apakah benar-benar dibelikan pulsa atau tidak. Ternyata pulsa di HP suaminya tidak bertambah. Akhirnya, istrinya marah karena merasa dibohongi oleh suaminya. Selidik punya selidik, ternyata uang itu sama suaminya dibelikan makanan kesukaannya karena suaminya merasa bosan dengan masakan di rumah.

****

Memiliki uang adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan sebuah rumah tangga. Bukan berarti tidak memiliki uang, lantas kemudian sebuah rumah tangga bisa dikatakan tidak bahagia. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Memiliki uang tetapi tanpa memiliki kemampuan untuk mengelolanya secara baik, maka uang pun tak punya arti apa-apa. Salah melakukannya bukan tidak mungkin kelanggengan sebuah rumah tangga akan menjadi taruhannya.
          Sebelum menikah misalnya, kita biasa untuk mengelola uang kita dengan cara kita sendiri. Tetapi setelah memasuki jenjang pernikahan, maka hal ini tentulah berubah. Bagaimana kita harus berbagi dengan pasangan. Berbagi di sini bukan hanya uang suami yang kita gunakan, tapi bisa jadi uang kita sendiri. Di sinilah perlu empati dan toleransi yang tinggi dari pasangan kita. Kita harus pandai-pandai mengkomunikasikan masalah keuangan dengan pasangan kita.
         Sebagai istri juga jangan terlalu egois, walaupun dalam agama, wanita berhak atas uang pribadinya. Mentang-mentang yang punya kewajiban mencari nafkah adalah suami lantas kita sebagai istri semaunya sendiri. Semua kita kuasai, baik tabungan, ATM, kartu kredit atau apalah yang lainnya.
          Lain lagi, kalau memang suami sudah menyerahkan sepenuhnya kepada istri karena ia merasa tidak pandai mengatur uang keluarga. Ya, kita sebagai istri semestinya menjalankan amanah yang diberikan suami dengan sebaik-baiknya. Kita juga harus tahu apa saja kebutuhan dan keinginan suami. Beri keleluasaan kepada pasangan kita untuk membelanjakan uang pribadinya. Apabila suami atau istri terlalu boros atau senang berfoya-foya, maka kita berhak untuk saling menegur, saling mengingatkan. Mengkomunikasikan masalah keuangan dalam rumah tangga sangatlah diperlukan. Apalagi kalau istri sudah tidak bekerja lagi. Otomatis keuangan keluarga akan berkurang.         
Jujur, saling percaya, dan saling terbuka di antara pasangan, itulah yang terpenting. Masak beli pulsa saja harus dicek, mau beli makanan kesukaannya saja harus berbohong? Apabila suami istri sudah tidak lagi saling jujur, saling percaya dan terbuka, maka apalah jadinya sebuah rumah tangga. Dengan kejujuran di antara pasangan akan mendatangkan kepercayaan dan menghilangkan rasa curiga.
“Mbak…, Mbaaak..! Mbak ngelamun, ya?!”
         “Eh.. gak kok Pak… cuma bengong aja, he…he… Apa bedanya, ya, Pak?!” jawabku sekenanya.
“Ini Mbak, sepedanya sudah selesai,” kata Pak Karim.
“Berapa, Pak, ongkosnya?”
“Lima ribu rupiah, Mbak!” jawab Pak Karim.
          “Ma kasih banyak, Pak!”
          “Iya, sama-sama, Mbak!”

Sudah jam berapa ya? Semoga saja tidak terlambat, batinku.

 Ya Allah, pagi ini Engkau telah menyapaku, memberikan banyak pelajaran buatku lewat orang-orang yang aku temui di jalan. Terima kasih, Ya Robbi.
Mulai sekarang, marilah kita tanamkan dalam diri kita bahwa “Uangku, Uangmu, Ya Uang Kita Bersama”.

Wallahu a’lam.


Gambar diambil dari sini

***






   

2 komentar:

  1. Apa yang tersaji di sini, bukan saja Pak Karim yang mengalami. Alhamdulillah, namaku bukan Karim dan nasibkupun tak seperti pak Karim.

    Dari cerita yang pernah kudengar, ada beberapa suami yang terpaksa menyembunyikan beberapa lembar uang di celah-celah dompet atau tempat tersembunyi lainnya demi menghindari razia istri yang berpaham ada uang abang sayang, tak ada uang abang harus ngutang. Hehehe...

    Uangku maupun uangmu, mari kita gunakan untuk kepentingan bersama, keluarga ini dengan penuh amanah, begitu semestinya dalam berumah tangga.

    Tulisan ini menurut saya sangat layak diajukan di eramuslim maupun kotasantri. Tidak percaya, coba saja dan saya tunggu kabar baiknya.

    Oh ya ukhti, sekedar menyarankan, sempatkanlah untuk berkunjung di http://abdulcholik.com atau http://newblogcamp.com , di sana sering ada kuis berhadiah buku dan juga kontes menulis. dalam waktu dekat, akan ada kontes kecubung 3 warna, info selengkapnya baca saja di sana. yang jelas, saya melihat ada harapan besar untuk menang jika ukhti mengikutinya. postingan ini buktinya.

    BalasHapus
  2. Insya Alloh akan saya kunjungi, tapi kalo masalah ikutan kuis nanti dulu sajalah..Saya masih pengin mencoba minimal 10 tulisan dulu. Maaf, saya perlu waktu.

    BalasHapus