Rabu, 20 April 2011

HUKUM MENANGISI MAYIT


          Ketika salah seorang cucu Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, yang masih kecil (putri dari sayyidatina Zaenab) mendekati ajal, maka sayyidatina Zaenab mengirim utusan untuk menghadap Rasulullah agar beliau berkenan menjenguk cucunya. Akan tetapi Rasulullah justru menyuruh utusan tersebut untuk kembali kepada putrinya sambil berpesan :

إِنَّ اللهِ مَاأَخَدَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ فَلْتَحْتَسِبْ

"Sesungguhnya apa yang diambil dan diberikan itu milik Allah. Dan segala sesuatu yang ada pada Allah itu dengan batas  yang ditentukan. Maka perintahlah, hendaknya ia bersabar dan mencari pahala dari Allah."

          Mendengar pesan dari Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wasallam yang disampaikan oleh utusannya tersebut, Sayyidatina Zaenab belum merasa puas. Dia tetap berharap bahwa Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wasallam harus hadir untuk menyaksikan cucu beliau yang sedang naza'. Hingga akhirnya pergilah Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wasallam bersama Sa'ad bin Ubadah, Mu'adz bin Jabal serta Usamah bin Zaid ke rumah Sayyidatina Zaenab. Kemudian dihaturkannya cucu beliau yang nafasnya sudah tersendat-sendat. Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wasallam pun mengeluarkan air mata hingga Sa'ad bin Ubadah bertanya, ”Ya Rasulullah mengapa engkau sampai mengeluarkan air mata?”. Maka Rasulullah pun menjelaskan :

هَذِهِ الرَّحْمَةُ وَجَعَلَهَا اللهُ فِى قُلُوْبِ عِبَادِهِ وَ إِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءِ

" Ini adalah rasa kasih sayang yang diberikan Allah di hati hambaNya dan sesungguhnya Allah yang memberi rasa kasih sayang pada hambaNya yang berkasih sayang."
 (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, & Ibnu Majah)

          Dari hadits tersebut, kita dapat mengambil satu hukum bahwa secara syara’, menangisi mayit adalah boleh. Bukan karena menyesali kematiannya, tetapi karena lunaknya hati.

          Disisi lain, Abdullah bin Umar pernah melihat Hafshoh binti Umar menangisi kematian ayahnya. Kemudian dia berkata, ”Sebentar wahai saudaraku, apakah engkau tidak mengerti bahwa Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wasallam pernah bersabda :

إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

" Bahwa mayit diadzab karena tangisan keluarganya."  
(HR. Nasa’i & Muslim)

          Menurut Sayyidatina Aisyah, dalam hal ini Abdullah bin Umar tidak berbohong tentang hadits tersebut. Hanya saja mungkin dia lupa akan asbabul wurud hadits tersebut atau kurang tepat dalam memahaminya. Hadits tersebut meski secara dhohir bersifat umum, tetapi bukan larangan umum karena memang ada peristiwa khusus yang melatarbelakangi hadits tersebut. Hal ini dijelaskan dalam hadits Aisyah Radiyallaahu ’Anhu :

          Suatu saat Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wasallam lewat di tengah jalan dan melihat seorang perempuan Yahudi meninggal dan ditangisi keluarganya, maka kemudian Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wasallam bersabda :

إِنَّهُمْ لَيَبْكُوْنَ عَلَيْهَا : وَإِنَّهَالَتُعَذَّبُ فِى قَبْرِهَا

" Bahwa mereka menangisi kematian perempuan Yahudi itu, dan sesungguhnya perempuan  Yahudi tersebut diadzab dalam kuburnya."

          Hal ini berhubungan dengan budaya Yahudi yang mewasiatkan pada keluarganya agar ditangisi saat kematiannya. Jadi Yahudi tersebut diadzab karena wasiatnya. Ini sesuai dengan Qur’an Surat  Al An’am ayat 164 :

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

" Seseorang yang berdosa  tidak akan memikul dosa  orang lain."

Dari hadits tentang menangisi mayit ini, terjadi khilaf diantara ulama' :
1.    Pendapat pertama, secara mutlak melarang menangisi mayit.
2.    Pendapat kedua, membolehkan menangisi mayit karena cenderung pada komentar         Sayyidatina Aisyah tentang asbabul wurud hadits tersebut.

Untuk melepaskan khilaf tersebut, maka ditarik kesimpulan bahwa:
1.    Menangisi mayit yang tidak ada rasa penyesalan atas kematian mayit (karena setiap orang pasti akan mati), tidak pula dengan niyahah (semacam ngomel dan menyesali kematian) adalah boleh, hal ini karena tumbuh dari  lunaknya hati dan rasa kasih sayang.
2.  Sebaliknya, menangisi mayit karena menyesali atas kematian mayit dan disertai dengan niyahah (semacam ngomel dan menyesali kematian),  maka berlaku arti hadits  “yu’adzdzabu”  yang makna bahasanya littahdid (menakut-nakuti). Hal seperti ini tidak diperbolehkan dalam Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar