Afa dan Azril |
“Bulek, suala apa itu?” tanya Afa
sambil melototkan matanya. Matanya yang bulat jadi tambah
bulat. Alisnya semakin terangkat. Mungkin baru sekali ini dia dengar suara
sapi. Maklum, selama ini dia hidup di kota.
“ Oh.., itu suara sapi, dik Afa,”
jawabku sambil tersenyum.
Afa adalah keponakanku yang nomor lima
dari Kakakku yang pertama. Umurnya kurang lebih 3,5 th. Dia sudah pintar bicara
hanya belum bisa bilang ‘ r ‘ he..he..he
“ Bulek, Dik Afa pengin lihat sapi?”
pintanya sambil menarik-narik tanganku.
Belum sempat aku menjawab,
eh..ternyata Kakak-kakaknya sudah duluan memanggilnya.
“Dik Afaaa.., lihat sapi, yuk!”
teriak mereka sambil berlari menuju kandang sapi di samping rumah.
Tanpa pikir panjang, Afa langsung lari
mengikuti mereka. Aku tersenyum dibuatnya.
“Dik Afa…Dik Afa...”
Hari ini, kami sekeluarga bersilaturrahim
ke rumah mertuanya adikku. Mumpung liburan. Kebetulan istrinya melahirkan anak
yang pertama cucu yang ke empatbelas dari Ibuku. Sebenarnya, rumahnya tidak terlalu
jauh dari jalan raya, sekitar 400 meteran. Mungkin karena mereka memelihara
sapi, jadi kesannya seperti di desa. Apalagi di sekitar rumah, banyak
berkeliaran bebek putih. Disini sawah masih membentang luas, beda dengan di
kota.
“ Buleek…!”
suara Afa mengagetkanku.
“ Tadi, Dik Afa lihat sapi, buaanyak!”
Sambil
tangannya membuat lingkaran besar.
“ Banyak ya? Coba ada berapa sapinya?”
“ Ada tiga, Bulek!” dengan
semangat, Afa menunjukkan jarinya kelima-limanya. Lagi-lagi aku tersenyum
dibuatnya.
“Dik Afa, kalau tiga itu begini,”
kutunjukkan jari-jariku berjumlah tiga.
Dia tersenyum malu sambil
memperlihatkan gigi-giginya yang mulai menghitam karena kebanyakan makan
permen.
“Trus, ada apa lagi disana?” tanyaku
sambil tersenyum.
“Ada sapi, ada lumput, ada makanan…” sambil
menghitung dengan jari-jarinya. Sementara matanya melirik ke kanan dan ke kiri,
mengingat-ingat kalau ada yang ketinggalan belum disebutkan.
Aku coba bertanya lagi, “Kalau
makanannya sapi itu apa sih, Dik Afa?”
“Lumput, Bulek,” jawabnya sambil
ketawa. Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan.
Kwek.. kwek… kwekkkk…!!!
“Buleek, apa itu?!”
sambil menunjuk ke arah bebek-bebek itu.
Benar juga, ada segerombolan bebek
berwarna putih sedang asyik berkejar-kejaran dengan teman-temannya.
Kelihatannya mereka sedang cari makan.
“Oh.., itu namanya bebek. Kenapa, Dik
Afa?”
“Dik Afa, pengin kesana. Lihat sama
Mbak Ais, ya, Bulek?” (Mbak Ais, Kakaknya yang sulung)
“Ya sudah, kalau gitu Bulek ikutan. Bulek
pakai sandal dulu, ya!”
Belum sempat aku pakai sandal, eh...dia
sudah lari duluan. Biasanya dia minta ‘gendong’. Jadilah aku lari mengejarnya.
“Buleek! Lihat, bebeknya banyak sekali!”
Bebek-bebek itu sedang asyik bermain
di pinggir selokan yang tidak penuh air. Tenang dan dengan cuweknya sambil
sesekali bebek-bebek itu menjulurkan paruhnya ke dalam air.
“Buleek…Buleeek!! sambil
teriak-teriak. Itu, bebeknya lagi minum!”
“Bebeknya lagi cali makan, Bulek!” Afa
pun menyahut tidak mau kalah.
Senang sekali dia, seraya menemukan
mainan baru. Mainan yang belum pernah dia lihat selama ini. Matanya
berbinar-binar bak bintang kejora. Suaranya ramai sekali, berbaur dengan suara
bebek dan teriakan Kakak-kakaknya. Semangat sekali mereka. Jadi ketawa sendiri,
aku.
Tak seberapa lama kemudian, aku
mengajak mereka untuk segera kembali. Matahari mulai meninggi bertanda hari
sudah semakin siang. Panaspun terasa menyengat kulitku. Lagian perutku sudah
berbunyi berkali-kali, ingin segera minta diisi. Apakah mereka nggak merasa
lapar atau kepanasan seperti aku? Apakah karena asyiknya bermain dengan
bebek-bebek itu lantas tidak merasakan apa-apa?
“Sudah ya! Pulang, yuk!”
“Nggak mau, entar dulu!” jawab mereka
serentak.
“Bulek, sudah capek nih!” pintaku.
Aku mulai kehabisan tenaga karena mengejar-ngejar Afa yang semakin cepat
larinya. Dia masih perlu diawasi geraknya.
“Pulang, yuk!” sekali lagi aku
meminta.
Nggak ada jawaban. Eh.., aku dicuwekin
begitu saja. Saking asyiknya bercanda sama bebek-bebek itu, mereka sudah nggak
mendengar lagi ajakanku.
“Capek, deeh. Sabar…sabaar!” batinku.
“Buleek! Bebeknya difoto dulu,
ya!"
Aku diam saja, sambil bengong melihat
mereka asyik bercengkrama dengan bebek-bebek itu.
“Ayo, Buleeek ?!”
“Iya…iya!”
Tahu aja mereka kalau aku bawa kamera.
“Oke, siap-siap ya!”
Akhirnya aku foto mereka dengan bebek-bebek itu.
“Satu…dua…tiga!”
“Klik!”
kamera kuarahkan ke mereka.
“Hayoo…, mana senyumnya?!”
Jadilah mereka bergaya seperti artis masuk desa he...he... Ternyata keponakanku
pada narcis semua, kayak Buleknya. Aku tersenyum dalam hati.
“Satu…dua…tiga!”
“Klik!”
Kufoto mereka bersama bebek-bebek itu.
“Ah…, melihat tingkah polah dan senyum mereka, capekku jadi hilang deh,
he..he..”
***
Ketika kami sedang
asyik makan, tiba-tiba dikejutkan dengan keluarnya anak-anak sapi dari kandang
sebelah rumah. Sapi-sapi itu lari sekencang-kencangnya seperti dikejar setan.
Kami semua ketawa melihat pemandangan itu. Ibu mertua adikku bilang kalau pintu
kandang sapinya lupa nggak ditutup lagi.
“Iya, tadi pintunya nggak aku tutup,”
jawab Azril sambil makan.
Kami semua kaget dengan pengakuan
Azril. Eh…tapi Azril malah tenang-tenang saja sambil meneruskan makannya.
“Tadi…tadi pas aku lihat, talinya udah
longgar, kan kalau talinya udah longgar, sapinya bisa lari sendiri, Bulek,” Azril
menambahkan.
“Cerdas juga dia,” batinku mengiyakan.
“Nggak apa apa, nanti sapinya bisa
pulang sendiri kok,” Ibu mertuanya adikku menegaskan sambil
tersenyum pada Azril.
“Haah? Sapi bisa pulang sendiri?”
“Emang tahu rumahnya?”
“ Kalau masih kecil, sapi itu masih
bisa mengingat dimana rumahnya. Jadi bisa balik sendiri nanti,” tegas beliau.
Kami semua tertawa bersama.
Wallahu
a’lam bis shawab
serunya ngumpul bareng enam malaikat kecilnya Pak Beh. ngomong-ngomong masih 'belum percaya' soalnya nda ada potonya. hehehe....
BalasHapusAda dong fotonya, emang sengaja nggak aku upload. Entar nanti deh..tunggu tanggal mainnya
BalasHapus